Adakah
diantara anda yang tidak pernah mengalami nyeri? Anda sungguh
beruntung jika demikian, akan tetapi semua pasti pernah mengalami
nyeri. Baik itu nyeri ringan, maupun sampai nyeri hebat. Berdasarkan
hasil observasi yang pernah dilakukan penulis di beberaoa rumah
sakit nyeri merupakan masalah keperawatan yang paling banyak
dikeluhkan. Nyeri dapat mempengaruhi aktivitas seseorang dan bersifat
sangat mengganggu apabila nyeri berat, oleh karena itu nyeri harus
segera diatasi. Ada banyak intervensi yang dapat diberikan pada
seseorang yang mengalami nyeri baik intervensi farmakologis maupun
nonfarmakologis. Agar intervensi yang diberikan efektif dan efisien,
sangat penting bagi seorang perawat untuk mengetahui konsep nyeri.
Definsi nyeri
Nyeri dapat diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan dan
sangat individual. Seperti yang dikatakan oleh Kozier et al.
(2009) nyeri bersifat individual karena respons nyeri berbeda pada
setiap individu. Corwin (2009) mengatakan bahwa nyeri merupakan sensasi yang tidak nyaman yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan. Seseorang yang terjatuh dari sepeda dan mengalami luka
lecet akan mengeluh kesakitan pada lukanya.
Jadi, secara sederhana nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan
dan bersifat individual yang berkaitan dengan kerusakan jaringan.
Penyebab nyeri
Ada banyak hal yang dapat menyebabkan timbulnya nyeri. Seseorang yang
tersiram air panas akan merasakan nyeri yang terbakar, seseorang yang
mengalami luka fisik akibat tusukan benda tajam juga dapat mengalami
nyeri. Asmadi (2008) mengelompokkan penyebab nyeri ke dalam dua
golongan, yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan
dengan psikis. Nyeri yang disebabkan oleh faktor psikologis merupakan
nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab fisik, melainkan akibat
trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Secara fisik misalnya
akibat trauma baik trauma mekanik, termal, maupun kimia (Kozier, et al. 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Dikatakan bahwa nyeri merupakan sensasi subyektif yang tidak
menyenangkan. Bersifat subyektif karena dipengaruhi oleh banyak faktor.
Faktor-faktor yang dimaksud diantaranya seperti yang disebutkan oleh
Kozier et al. (2010) adalah kebudayaan, usia, lingkungan dan
individu pendukung, pengalaman masa lalu, makna nyeri, dan ansietas.
Selain faktor di atas Potter & Perry (2005) juga mengatakan jenis
kelamin, keletihan dan gaya koping seseorang merupakan salah satu faktor
yang dapat berpengaruh terhadap nyeri. Berikut penjelasannya:
1. Pengalaman nyeri sebelumnya
Memang
benar beranggapan bahwa orang yang berkali-kali mengalami nyeri atau
mengalami nyeri yang berkepanjangan akan lebih mampu mentoleransi nyeri
dibandingkan dengan orang yang jarang mengalami pengalaman nyeri. Namun,
hal itu tidak berlaku bagi sebagian orang. Semakin sering seseorang
mengalami nyeri, semakin takut ia akan peristiwa yang dapat menimbulkan
nyeri berikutnya. Seseorang mungkin kurang mampu mentoleransi nyeri;
yaitu, dia ingin pengobatan segera, sebelum nyerinya memberat. Reaksi
ini lebih mungkin terjadi jika orang tersebut pernah mengalami nyeri
yang sangat hebat di masa lalu. Setelah seseorang mengalami nyeri hebat,
ia tahu betapa hebatnya rasa nyeri itu. Sebaliknya, orang yang tidak
pernah mengalami nyeri hebat mungkin tidak takut dengan nyeri tersebut.
2. Ansietas
Walaupun
pada umumnya diyakini bahwa kecemasan meningkatkan persepsi nyeri, itu
tidak sepenuhnya benar. Kecemasan mungkin akan meningkatkan persepsi
nyeri seseorang. Sebagai contoh, seorang pasien yang 2 tahun sebelumnya
dirawat karena mengalami kanker payudara dan sekarang mengalami nyeri
pinggul mungkin takut bahwa hal itu mengindikasikan terjadinya
metastasis. Pada kasus ini, kecemasan mungkin akan meningkatkan persepsi
nyeri. Kecemasan yang tidak berhubungan dengan nyeri akan mengalihkan
perhatian seseorang terhadap nyeri dan seseungguhnya mengurangi nyeri
yang dirasakan. Sebagai contoh, seorang ibu yang dirawat di rumah sakit
dengan komplikasi dari pembedahan abdomen dan mencemaskan anaknya. Nyeri
mungkin akan berkurang karena lebih mencemaskan anaknya,
3. Budaya
Respon
seseorang terhadap nyeri berbeda antara seseorang dengan budaya yang
satu dengan yang lainnya. Semasa anak-anak, orang belajar dari sekitar
mereka apakah respons terhadap nyeri dapat diterima atau tidak. Sebagai
contoh, seorang anak mungkin belajar bahwa nyeri akibat cedera karena
olahraga tidak separah dengan nyeri akibat kecelakaan berkendara.
Seperti halnya juga seorang laki-laki tidak boleh mengeluh nyeri,
sedangkan perempuan boleh mengeluh nyeri.
4. Jenis kelamin
Tidak
ada perbedaan yang signifikan antara wanita dengan laki-laki dalam
merespon nyeri, akan tetapi lebih mengarah kepada budaya.
5. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan bagaimana mengatasinya.
6. Keletihan
Keletihan
meningkatkan persepsi nyeri. Rasa keletihan menyebabkan sensasi nyeri
semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping sehingga terbentuk
siklus nyeri-letih-nyeri.
7. Gaya Koping
Pola
koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptif akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
8. Lingkungan dan individu pendukung
Lingkungan
yang asing seperti rumah sakit dengan kebisingan dan aktivitasnya,
dapat menambah persepsi nyeri. Selain itu, individu yang tidak mempunyai
individu pendukung dapat merasakan nyeri hebat, sebaliknya orang yang
memiliki individu pendukung di sekitarnya merasakan sedikit nyeri.
Fisiologis Nyeri
Seseorang mengalami nyeri karena ada suatu proses fisiologis yang terjadi. Proses fisiologis nyeri digambarkan sebagai nosisepsi. Proses ini dimulai dari rangsangan sampai timbulnya persepsi nyeri. Menurut Urden, Stacy, & Lough (2009); Kozier et al. (2010); Price & Wilson (2005), ada empat proses yang terlibat dalam nosisepsi:
1. Transduksi
Transduksi adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri (Price & Wilson 2005). Selama fase transduksi, stimulus berbahaya memicu pelepasan neurotransmiter seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin, substansi P. Neurotransmiter ini menstimulasi nosiseptor dan memulai transmisi nosiseptif. Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan menghambat prostaglandin (Kozier, et al. 2010).
Transduksi adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri (Price & Wilson 2005). Selama fase transduksi, stimulus berbahaya memicu pelepasan neurotransmiter seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin, substansi P. Neurotransmiter ini menstimulasi nosiseptor dan memulai transmisi nosiseptif. Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan menghambat prostaglandin (Kozier, et al. 2010).
2. Transmisi
Transmisi
adalah proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi melewati
saraf perifer sampai ke terminal medula spinalis dan jaringan
neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke otak (Price
& Wilson 2005). Transmisi meliputi tiga segmen. Selama segmen yang
pertama, impuls nyeri dari serabut saraf tepi dihantarkan ke medula
spinalis. Substansi P bertindak sebagai sebuah neurotransmiter yang
meningkatkan pergerakan impuls menyeberangi sinaps saraf dari neuron
aferen primer ke neuron ordo kedua di kornu dorsalis medula spinalis.
Dua tipe serabut nosiseptor menyebabkan transmisi ini ke kornu dorsalis
medula spinalis: serabut C yang mentransmisikan nyeri tumpul yang
berkepanjangan, dan serabut A-delta yang mentransmisikan nyeri tajam dan
lokal. Segmen kedua adalah transmisi dari medula spinalis dan asendens,
melalui traktus spinotalamus, ke batang otak dan talamus (Kozier, et al. 2010). Spinotalamus terbagi menjadi dua jalur khusus: jalur neospinothalamic (NS) dan jalur paleospinothalamic (PS). Umumnya, serabut A-delta mengirimkan impuls nyeri ke otak melalui jalur NS dan serabut C menggunakan jalur PS (Urden, et al.
2009). Segmen ketiga melibatkan transmisi sinyal antara talamus ke
korteks sensorik somatik tempat terjadinya persepsi nyeri (Kozier, et al. 2010).
3. Persepsi
Persepsi
adalah pengalaman subjektif yang dihasilkan oleh aktivitas transimisi
nyeri (Price & Wilson 2005). Impuls nyeri ditrasnmisikan melalui
spinotalamus menuju ke pusat otak dimana persepsi ini terjadi. Sensasi
nyeri yang ditransmisikan melalui neospinothalamic (NS) menuju talamus, dan sensasi nyeri yang ditransmisikan melalui paleospinothalamic (PS) menuju batang otak, hipotalamus, dan talamus. Bagian dari central nervous system (CNS)
ini berkontribusi terhadap persepsi awal nyeri. Proyeksi ke sistem
limbik dan korteks frontal memungkinkan ekspresi dari komponen afektif
nyeri. Proyeksi ke korteks sensorik yang terletak di lobus parietal
memungkinkan pasien untuk menggambarkan pengalaman sensorik dan
karakteristik nyerinya, seperti lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri.
Komponen kognitif nyeri melibatkan beberapa bagian korteks serebral.
Ketiga komponen ini menggambarkan interpretasi subjektif dari nyeri.
Sama dengan proses subjektif tersebut, ekspresi wajah dan gerakan tubuh
tertentu merupakan indikator perilaku nyeri yang terjadi sebagai akibat
dari proyeksi serabut nyeri ke korteks motorik di lobus frontal (Urden, et al. 2009).
4. Modulasi
Modulasi
seringkali digambarkan sebagai sistem desendens, proses keempat ini
terjadi saat neuron di batang otak mengirimkan sinyal menuruni kornu
dorsalis medula spinalis. Serabut desendens ini melepaskan zat seperti
opiod endogen, serotonin, dan norepinefrin, yang dapat menghambat
naiknya impuls berbahaya di kornu dorsalis. Namun, neurotransmiter ini
diambil kembali oleh tubuh, yang membatasi kegunaan analgesiknya. Klien
yang mengalami nyeri kronik dapat diberi resep antidepresan trisiklik,
yang menghambat ambilan kembali norepineprin dan serotonin. Tindakan ini
meningkatkan fase modulasi yang membantu menghambat naiknya stimulus
yang berbahaya (Kozier, et al.2010).
Respons refleks yang bersifat protektif juga bisa terjadi dengan adanya
persepsi nyeri (Gambar 2.2). Serabut A-delta mengirim impuls-impuls
sensorik ke medula spinalis, selanjutnya impuls tersebut akan
bersinapsis dengan neuron motorik spinal. Impuls-impuls motorik tersebut
dihantarkan ke sepanjang serabut-serabut eferen kembali ke otot perifer
yang dekat area stimulasi, selanjutnya terjadi kontraksi otot yang
merupakan reaksi perlindungan terhadap nyeri (Potter & Perry 2009).
Respons terhadap nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan perilaku yang
terjadi setelah mempersepsikan nyeri. Pada respon fisiologis, sistem
saraf otonom terstimulus bersamaan dengan naiknya impuls-impuls nyeri ke
medula spinalis hingga batang otak dan talamus. Pada awalnya, sistem
saraf simpatis berespons, menyebabkan respons melawan atau menghindar.
Stimulasi dari cabang saraf simpatis pada sistem saraf otonom
mengakibatkan respons fisiologis seperti peningkatan respirasi,
peningkatan denyut jantung, vasokontriksi, peningkatan tekanan darah,
ketegangan otot. Apabila nyeri berlanjut, maka sistem saraf parasimpatis
mulai bereaksi. Adaptasi terhadap nyeri ini terjadi setelah beberapa
jam atau beberapa hari mengalami nyeri (Potter & Perry 2005, 2009).
Seseorang dapat belajar menghadapi nyeri melalui aktivitas kognitif dan
perilaku, seperti distraksi, guided imagery dan banyak tidur.
Individu dapat berespons terhadap nyeri dan mencari intervensi fisik
untuk mengatasi nyeri, seperti analgesik, masase, dan olahraga (Kozier, et al.
2010). Gerakan tubuh dan ekspresi wajah dapat mengindikasikan adanya
nyeri, seperti gigi mengatup, menutup mata dengan rapat, wajah meringis,
merengek, menjerit dan imobilisasi tubuh (Kozier, et al. 2009).
Klasifikasi nyeri
Smeltzer et al.
(2010) mengklasifikasikan nyeri secara umum menjadi tiga, yaitu nyeri
akut, nyeri kronis, dan nyeri yang terkait dengan kanker.
1. Nyeri akut
Nyeri
akut merupakan nyeri yang berlangsung tidak lebih dari enam bulan,
awitan gejalanya mendadak, dan biasanya penyebab serta lokasi nyeri
sudah diketahui.
2. Nyeri kronis
Nyeri kronis merupakan nyeri yang berlangsung lebih dari enam bulan, sumber nyerinya bisa diketahui bisa tidak.
3. Nyeri yang berhubungan dengan kanker
Nyeri
yang berhubungan dengan kanker dapat bersifat akut atau kronis. Nyeri
pada pasien dengan kanker dapat langsung berhubungan dengan kanker
(misalnya, infiltrasi tulang dengan sel tumor atau kompresi saraf),
hasil dari pengobatan kanker (misalnya, pembedahan atau radiasi). Namun,
sebagian besar nyeri yang terkait dengan kanker adalah akibat langsung
dari keterlibatan tumor.
Nyeri juga dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan
berdasarkan tempat dan berat ringannya nyeri (Asmadi 2008).
1. Nyeri berdasarkan tempatnya
- Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya pada kulit, mukosa.
- Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh viseral.
- Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.
- Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, dan talarnus.
2. Nyeri berdasarkan sifatnya
- Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.
- Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama.
- Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap kurang lebih 10 sampai dengan 15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.
3. Nyeri berdasarkan berat ringannya
- Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah
- Nyeri sedang, yaitu nyeri dengan intensitas sedang.
- Nyeri berat, yaltu nyeri dengan intensitas yang tinggi.
Intensitas nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
individu. Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya
dan karenanya harus diminta untuk menggambarkan dan membuat
tingkatannya (Smeltzer, et al. 2010). Penggunaan skala
intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan reliabel dalam menentukan
intensitas nyeri. Sebagian skala menggunakan kisaran 0-10 dengan 0
menandakan “tanpa nyeri” dan angka tertinggi menandakan “kemungkinan
nyeri terburuk” untuk individu tersebut (Kozier, et al. 2010).
2. Verbal Rating Scale (VRS)
3. Numeric Rating Scale (NRS)
NRS
digunakan untuk menilai intensitas dan memberi kebebasan penuh klien
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri (Potter & Perry 2005). Krebs,
Carey, & Weinberger (2007) mengkategorikan skor NRS 1-3 (nyeri
ringan), 4-6 (nyeri sedang), dan 7-10 (nyeri berat).
4. Visual Analog Scale (VAS)
VAS merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri dan memiliki alat keterangan verbal pada setiap ujungnya (Potter
& Perry 2005). VAS berbentuk garis horizontal sepanjang 10 cm, dan
ujungnya mengindikasikan nyeri yang berat. Pasien diminta untuk menunjuk
titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi di sepanjang
rentang tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak
nyeri”, sedangkan ujung kanan menandakan “berat” atau “nyeri yang
paling buruk”. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan
sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada
nyeri” diukur dan ditulis dalam sentimeter (Smeltzer, et al. 2010).
Peran perawat dalam manajemen nyeri
Peran perawat dalam manajemen nyeri adalah untuk melakukan pengkajian nyeri, mengidentifikasi tujuan manajemen nyeri, mengajarkan pasien, melakukan perawatan fisik, membantu mengatasi nyeri pasien dengan pemberian intervensi untuk mengurangi nyeri (termasuk pendekatanfarmakologis dan norfarmakologis), kaji kefektifan intervensi yang diberikan dan memonitor efek samping yang tidak diinginkan, dan berperan sebagai seorang pembela bagi pasien ketika intervensi yang direncanakan tidak efektif mengurangi nyeri. Gambar 7 merupakan pathway yang bisa digunakan pada dari pengkajian sampai keputusan klinis langsung untuk manajemen nyeri.1. Mengidentifikasi tujuan manajemen nyeri
Informasi yang perawat dapatkan
dari pengkajian nyeri digunakan untuk mengidentifikasi tujuan dari
memanajemen nyeri. Tujuan ini diberikan dan divalidasi bersama pasien.
Bagi beberapa pasien, tujuannya mungkin menghilangkan nyeri. Namun,
anggapan ini mungkin tidak realistis. Tujuan lain mungkin termasuk
mengurangi itensitas nyeri, durasi, frekuensi nyeri dan mengurangi
dampak negatif dari nyeri.
Untuk menentukan tujuan,
banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Faktor yang pertama adalah
tingkat keparahan nyeri yang ditentukan oleh pasien. Faktor yang kedua
adalah mengantisifasi efek yang merugikan bagi pasien. Pasien dengan
masalah kesehatan yang serius memiliki resiko yang lebih besar mengalami
efek buruk dari nyeri dibandingkan dengan pasien yang muda dan sehat.
Pada pasien dengan nyeri dari sebuah penyakit seperti kanker, nyeri
mungkin berkepanjangan, mungkin selama hidup pasien. Dibutuhkan
intervensi yang berbeda jika nyeri sekiranya hanya selama beberapa hari
atau minggu.
Nyeri pasien mungkin dapat
berkurang dengan pemberian intervensi farmakologis atau nonfarmakologis,
tetapi kebanyakan dengan gabungan dari keduanya. Penyakit pada tahap
akut, pasien mungkin tidak mampu berpartisipasi dalam tindakan manajemen
nyeri, tetapi ketika mental dan kemampuan fisik pasien adam pasien
mungkin belajar teknik manajemen diri untuk mengurangi nyeri. Oleh
karena itu, seiring dengan perkembangan tahap pemulihan pasien,
peningkatan manajemen diri merupakan tujuan manajemen nyeri
2. Memberikan perawatan fisik
Pasien dengan nyeri umumnya akan
mengalami gangguan pada perawatan dirinya. Oleh karena itu, penting bagi
perawat untuk membantu memenuhi kebutuhan pasien. Seperti baju yang
bersih, mengganti linen tempat tidur sejalan dengan upaya membuat pasien
segar (misalnya memandikan). Hal ini sering meningkatkan kenyamanan dan
meningkatkan keefektifan pereda nyeri
3. Hubungan perawat-pasien dan penyuluhan
Kepercayaan adalah suatu elemen yang
penting dalam hubungan ini. Menunjukkan kepada pasien tentang keyakinan
perawat bahwa pasien menderita nyeri sering mengurangi ansietas.
Misalnya seorang perawat mengatakan “saya mengerti anda mengalami
nyeri,” sering membuat pasien tenang. Kadang kala, pasien yang takut
bahwa tidak seorangpun percaya laporannya mengenai nyeri akan tenang
ketika ia mengetahui bahwa perawat dapat dipercaya dan percaya bahwa ia
benar-benar mengalami nyeri.
Selain itu perawat juga
memberikan informasi melalui penyuluhan tentang bagaimana nyeri dapat
dikontrol. Misalnya, sangat penting bagi pasien untuk melaporkan nyeri
sedini mungkin agar nyeri tidak bertambah berat dan dapat diatasi
segera.
4. Menangani ansietas yang berhubungan dengan nyeri
Mengajarkan pasien tentang sifat
nyeri dan cara-cara yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri sering
menurunkan ansietas. Hubungan pasien-perawat seperti yang dijelaskan
sebelumnya juga efektif untuk menurunkan ansietas yang berhubungan
dengan nyeri.
Gambar 7 Alur Manajemen Nyeri |
Penatalaksanaan Nyeri
Penatalaksaan nyeri yang efektif tidak hanya memberikan obat yang
tepat pada waktu yang tepat, seperti yang dikatakan Dewit (2008)
penatalaksanaan nyeri yang efektif juga dengan mengombinasian antara
penatalaksaan farmakologis dan nonfarmakologis. Kedua tindakan ini akan
memberikan tingkat kenyamanan yang sangat memuaskan dalam waktu yang
lama bagi pasien.
1. Tindakan Farmakologis
Tindakan farmakologis menurut Smeltzer et al. (2010) dibagi menjadi tiga kategori umum, yaitu anestesi lokal, agen analgesik opioid, dan Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs).
a. Anestesi lokal
Anestesi
lokal bekerja dengan memblok konduksi saraf saat diberikan langsung ke
serabut saraf. Anestesi lokal dapat memberikan langsung ke tempat yang
cedera (misalnya, anestesi topikal dalam bentuk semprot untuk luka bakar
akibat sinar matahari) atau cedera langsung ke serabut saraf melalui
suntikan atau saat pembedahan.
b. Opioid
Tujuan
dari pemberian opioid adalah untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan
kualitas hidup, karena itu, rute, dosis dan frekuensi pemberian
ditentukan secara individual. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam
menentukan rute, dosis, dan frekuensi pengobatan mencakup karakteristik
nyeri (misalnya, durasi dan tingkat keparahan), status keseluruhan
pasien, respon pasien terhadap pengobatan analgesik, dan laporan pasien
nyeri. Opioid dapat diberikan melalui berbagai rute: oral, intravena,
subkutan, intraspinal, intranasal, rektal, dan transdermal.
c. Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs)
Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs
(NSAIDs) diduga dapat menurunkan nyeri dengan menghambat produksi
prostaglandin dari jaringan-jaringan yang mengalami trauma atau
inflamasi, yang menghambat reseptor nyeri untuk menjadi sensitif
terhadap stimulus menyakitkan sebelumnya.
2. Tindakan nonfarmakologis
Tindakan
nonfarmakologis dapat digunakan sebagai pelengkap dalam pemberian
analgesik, tetapi tindakan nonfarmakologis tidak ditujukan sebagai
pengganti analgesik (Urden, et al. 2009). Tindakan nonfarmakologis menurut Smeltzer et al. (2010) meliputi masase, terapi es dan panas, stimulasi saraf elektris transkutan, teknik relaksasi, distraksi, hipnosis, guided imagery dan musik.
a. Masase
Masase
adalah tindakan kenyamanan yang dapat membantu relaksasi, menurunkan
ketegangan otot, dan dapat menurunkan ansietas karena kontak fisik yang
menyampaikan perhatian. Masase juga dapat menurunkan intensitas nyeri
dengan meningkatkan sirkulasi superfisial ke area nyeri. Masase dapat
dilakukan di leher, punggung, tangan dan lengan, atau kaki.
b. Terapi es dan panas
Terapi
es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensivitas reseptor
nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses
inflamasi. Terapi panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah
ke suatu area dan kemungkinan dapat menurunkan nyeri dengan mempercepat
penyembuhan.
c. Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)
TENS
dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non
nosiseptor) dalam area yang sama seperti pada serabut yang
menstransmisikan nyeri. TENS menggunakan unit yang dijalankan oleh
baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan
sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri. Stimulasi
dari TENS diperkirakan mengaktivasi serabut saraf berdiameter besar yang
mengatur transmisi impuls nosiseptif di sistem saraf tepi dan system
saraf pusat, menghasilkan penurunan nyeri.
d. Teknik relaksasi
Teknik
relaksasi dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot
yang menunjang nyeri. Teknik relaksasi terdiri atas nafas abdomen dengan
frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan
bernafas dengan perlahan dan nyaman.
e. Distraksi
Distraksi
merupakan tindakan dengan memfokuskan perhatian pada sesuatu selain
pada nyeri, misalnya menonton film dan bermain catur. Distraksi diduga
dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol
desendens yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang
ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan
pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri.
f. Hipnosis
Hipnosis
efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang
dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini membantu dalam
memberikan peredaan nyeri terutama dalam situasi sulit, misalnya luka
bakar. Keefektifan hipnosis tergantung pada kemampuan hipnotik individu.
g. Imajinasi terbimbing (guided imagery)
Imajinasi
terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang
dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. sebagai
contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat
terdiri atas menggabungkan napas berirama lambat dengan suatu bayangan
mental dan kenyamanan.
h.Terapi musik
Terapi
musik merupakan terapi yang murah dan efektif untuk mengurangi nyeri
dan kecemasan. Penelitian di kalangan wanita lansia di Korea dan Amerika
yang menjalani operasi ginekologi menunjukkan penurunan nyeri setelah
diberikan intervensi terapi musik.
Daftar Pustaka
Asmadi 2008, Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien, Salemba Medika, Jakarta
Corwin, EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3, EGC, Jakarta
Dewit,
SC 2008, Medical Surgical Nursing:
Concept and Practice, Elsevier
Science Health Science Division, St. Louis
Kozier, B, Erb, G, Berman, A & Snyder, SJ 2009, Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis, Edisi 5. EGC, Jakarta
_______ 2010, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses & Praktik, Edisi 7, Vol. 1, EGC, Jakarta
Krebs, EE, Carey, TS & Weinberger, M 2007,
‘Accuracy of the Pain Numeric Rating Scale as a Screening Test in Primary
Care’, Journal of General Internal
Medicine, Vol.22, no.10, hal. 1453–1458, diakses 27 Oktober 2013, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2305860/
Potter, PA & Perry, AG 2009, Fundamental Keperawatan, Buku 3 Edisi 7, Salemba Medika, Jakarta
_______ 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Praktik. EGC, Jakarta
Price, SA, & Wilson, LM 2005, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki, Edisi 6, Vol. 2, EGC, Jakarta
Urden, LD, Stacy, KM & Lough, ME 2009, Critical Care Nursing: Diagnosis and Management, 6th edition, Mosby, Maryland Heights, Missouri
Casino Games - Casino Betting Strategy & Tips
BalasHapusYou won't win when your bet is 벳무브 wrong, it just needs 피망 슬롯 to be played 온라인 슬롯머신 before you begin. The best casino sites give you a clear and unbiased 10 벳 betting strategy 스트립 포커
The casino is back in its game - Dr.MCD
BalasHapusThe casino is back in its game! Check 거제 출장샵 back in time for the great gaming days 광주광역 출장마사지 of Las 당진 출장샵 Vegas. Try the 통영 출장마사지 new slots, blackjack, roulette and video 의왕 출장안마 poker.