Senin, 30 Maret 2015

GUIDED IMAGERY AND MUSIC (GIM)

KONSEP GUIDED IMAGERY AND MUSIC (GIM) 



    
        Bagi anda yang sedang banyak pikiran, mengalami nyeri, atau butuh relaksasi. Penulis akan memberikan sedikit informasi mengenai cara mengatasi hal tersebut, yaitu dengan guided imagery and music atau bisa disingkat dengan GIM. Seperti yang disebutkan pada bahasan konsep nyeri di blog ini, guided imagery dan terapi musik merupakan salah satu intervensi nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri, dan merupakan intervensi yang terpisah.

       Beberapa ahli mendefinisikan guided imagery merupakan sebuah intervensi yang dirancang khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Efek positif tertentu yang dimaksud disini misalnya pengurangan nyeri dan kecemasan. Dari namanya guided imagery atau dalam bahasa indonesia imajinasi terbimbing, anda bisa membayangkan bagaimana pelaksanaannya. Guided imagery, berarti imajinasi yang dibimbing, artinya kita dibantu seseorang untuk berimajinasi dan terfokus pada imajinasi tersebut, dalam hal ini yang membimbing disebut terapis. Jika anda pernah menonton acara televisi hipnotis yang dilakukan Uya Kuya atau Romi Rafael, anda akan mempunyai sedikit gambaran mengenai pelaksanaannya. Pelaksanaannya sedikit mirip dengan hipnoterapi. Akan tetapi Guided imagery ini secara keseluruhan mengajak kita untuk membayangkan hal-hal yang menyenangkan, seperti membayangkan diri sendiri bermain di tepi pantai, di padang rumput, atau sesuai dengan kesengangan masing-masing individu. Dengan membayangkan hal-hal yang menyenangkan maka tubuh akan memproduksi hormon yang sering didewa-dewakan, yaitu hormon endorfin. Hormon ini adalah hormon yang sangat berperan untuk mengurangi stres. Stress tidak hanya seperti pusing memikirkan pacar atau uang yang habis di akhir bulan. Stress juga bisa seperti nyeri atau trauma fisik.

guided imagery
Gambar 1 guided imagery (Djohan 2006)



        Selanjutnya adalah terapi musik. Sangat sederhana, terapi ini hanya dengan cara mendengarkan musik yang disukai, akan tetapi tidak disarankan lagu-lagu dengan lirik galau, nanti bukannya tambah semangat tapi tambah melow. Penulis sendiri mengalami. Disitu kadang penulis merasa sedih.

        Penjelasan di atas adalah gambaran mengenai guided imagery dan terapi musik. Selain itu, ada juga intervensi yang lebih menarik dari kedua intervensi diatas, yaitu GIM, yang merupakan gabungan dari keduanya. Sebenarnya GIM adalah intervensi yang sudah lama diciptakan. GIM diciptakan oleh Dr. Helen L. Bonny pada awal tahun 1970an.



Apa itu Guided imagery and music (GIM)?


         GIM adalah singakatan dari Guided imagery and music. Beberapa pendapat para ahli mengenai definisi GIM, diantaranya menurut Raley (2006) GIM adalah sebuah metode psikoterapi musik dengan mendengarkan musik klasik dalam keadaan santai untuk meningkatkan imajinasi dengan tujuan penyembuhan dan aktualisasi diri. Pendapat lain, Bee & Wyatt (2009) menjelaskan bahwa GIM mengombinasikan intervensi bimbingan imajiansi dan terapi  musik. GIM dilakukan dengan memfokuskan fantasi atau imajinasi klien yang difaslilitasi dengan musik. Efek musik digunkan untuk memperkuat relaksasi klien sehingga imajinasi maupun sugesti yang diberikan akan mudah diinduksikan. Sedangkan menurut penciptanya senidir, Helen L. Bonny (1990) yang dikutip dari Mardis & Clark (2008), GIM adalah bentuk dari terapi musik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mengintegrasikan aspek emosi, mental, spritual dan fisik.

          Secara sederhana GIM merupakan gabungan antara guided imagery dengan terapi musik atau guided imagery yang pelaksanaannya diiringi dengan musik, berimajinasi sambil mendengarkan musik.



Apa saja manfaat guided imagery and music (GIM)?


      Ada banyak manfaat GIM, beberapa penelitian telah membuktikan manfaat GIM, menurut Branon, Feist & Updegraff (2013) GIM dapat mengurangi nyeri. Selain itu Guided imagery juga dapat mengurangi  (Sole, et al. 2013; Bonadies 2009; Kwekkeboom, et al. 2010).



Bagamaimana proses guided imagery and music (GIM)?


        Domenech & Montserrat (2008); Farrel (2010); Short (2003) menyebutkan GIM terdiri dari 4 fase. Fase yang pertama adalah prelude, pada fase ini pasien mengungkapkan keluhan yang sedang dirasakan kepada terapis dan memposisikan diri sebelum masuk ke alam bawah sadar. Fase yang kedua adalah induction, pada fase ini terapis akan memberikan sugesti verbal untuk merilekskan tubuh pasien dan mempersiapkan pasien untuk mendengarkan musik beserta bimbingan imajinasi. Fase yang ketiga adalah music-imagery experience, pada fase ini pasien akan diperdengarkan musik beserta bimbingan imajinasi. Fase yang keempat adalah fase postlude. Fase ini untuk mengakhiri proses GIM. Pada fase ini terapis akan memberikan sugesti positif kepada pasien yang akan membuat tubuh pasien lebih rileks dan segar, kemudian diikuti dengan proses hitungan beberapa detik untuk membawa pasien kembali pada keadaan semula dan membuka mata.



Teknik pemberian guided imagery and music (GIM)


       Anda bisa melakukan GIM dimana saja asalkan pelaksanaannya di tempat dengan suasana yang tenang dan nyaman. Short (2003) menjelaskan GIM dalam penelitiannya dilakukan di ruangan yang tenang dan kondusif di rumah sakit, akan tetapi ada beberapa keadaan yang dapat mengganggu dalam proses pelaksanaan GIM, seperti interupsi dari orang maupun staf dan suara-suara mengganggu lainnya. Kedua hal ini  berpotensi menyebabkan fokus anda terganggu selama intervensi berlangsung. Untuk mengatasi hal ini yang bisa anda lakukan adalah meningkatkan volume musik. Pelaksanaan GIM dapat dilakukan dengan posisi duduk atau berbaring dengan mata tertutup, akan  tetapi dalam pelaksanaan standar GIM dilakukan dalam posisi berbaring. Posisi pelaksanaan GIM dapat disesuaikan sesuai dengan kenyamanan anda.

        GIM dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dilakukan oleh individu, sedangkan secara tidak langsung dilakukan dengan bantuan terapis atau alat bantu berupa rekaman audio. Menurut Djohan (2006) ada dua titik pandang dalam pelaksanaan GIM ini:

  • Titik pandang 1, terapis akan membimbing klien kepada interpretasi imajinasinya dan ditujukan pada insight baru dari masalahnya

  • Titik pandan 2, terapis menelaah musik dan pengalaman imajinatif yang berlangsung dalam diri klien

      GIM dapat dilakukan sendiri tanpa adanya bantuan dari seorang terapis. Rockefeller (2007); Tilberg et al. (2009) menjelaskan bahwa guided imagery biasanya diberikan oleh seorang terapis yang sudah terlatih, akan tetapi guided imagery juga bisa diberikan oleh petugas kesehatan manapun atau dilakukan oleh diri sendiri tanpa perlu pelatihan khusus jika dilakukan dengan menggunakan rekaman audio. Guided imagery juga sangat efektif ketika dilakukan dengan menggunakan rekaman audio. Rekaman audio berisi musik, panduan relaksasi dan membayangkan hal-hal yang menyenangkan bagi individu (Rakel 2012).

      Banyak studi telah menunjukkan bahwa jenis musik untuk terapi musik tidak harus musik klasik. Musik klasik, pop, dan modern (dengan catatan musik tanpa vokal, periode tenang) digunakan pada terapi musik. Seperti yang dikatakan Good, et.al. (1999); (2001); Finnerty (2001); Wilgram (2002); Dunn (2004); Schou (2008); Nilsson (2009) dalam Novita (2012, p.45) jenis musik yang direkomendasikan selain instrumentalia musik klasik, bisa juga slow jazz, pop, folk, western coutry, easy listening, bisa juga disertai dengan unsur suara natural alam atau musik yang sesuai dengan budaya asal pasien.

      Lama pemberian GIM bisa disesuaikan dengan kebutuhan anda, seperti yang dikemukakan oleh Short (2003) GIM dapat diberikan selama 15 menit sampai dengan 30 menit bahkan sampai 2 jam atau lebih tergantung dari durasi musik, konsentrasi pasien, dan seberapa cepat pasien merasa lelah.


Tidak semua orang boleh melakukan GIM!


        Walaupun GIM memberikan banyak manfaat, akan tetapi tidak semua orang boleh melakukan GIM. Beberapa diantaranya menurut Djohan (2006)  pada seseorang dengan emosi yang tidak stabil, memiliki keterbatasan inteligensi, atau yang karena suatu dan lain hal tidak dapat menerima kenyataan. GIM membutuhkan kemampuan seseorang untuk mencerna dan fokus pada semua intrusksi yang ada pada script.



          Jadi kesimpulannya, GIM adalah gabungan antara guided imagery dan terapi musik. GIM bermanfaat untuk mengurangi nyeri, stres, kecemasan, mengatasi gangguan tidur. GIM sebaiknya dilakukan di tempat yang tenang dan nyaman. GIM tidak harus dilakukan dengan bantuan seorang terapis, akan tetapi GIM juga bisa dilakukan sendiri asalkan dengan menggunakan GIM yang sudah direkam. GIM dapat dilakukan 15 menit sampai dengan 30 menit bahkan sampai 2 jam atau lebih tergantung dari durasi musik, konsentrasi pasien, dan seberapa cepat pasien merasa lelah. GIM tidak boleh dilakukan pada seseorang dengan emosi yang tidak stabil, memiliki keterbatasan inteligensi, atau yang karena suatu dan lain hal tidak dapat menerima kenyataan.


Berikut adalah contoh GIM yang penulis buat. Anda dapat mendownloadnya secara gratis (download contoh GIM)

Script dari contoh GIM di atas merupakan modifikasi dari beberapa sumber: penelitian yang dilakukan Sutrimo (2013), fase induction menggunakan script yang dikutip dari Joni (2013), dan postlude dari Nurindra (2013).

Semoga bermanfaat!

Daftar Pustaka

Beebe, LH & Wyatt, TH 2009, ‘Guided imagery & music using the Bonny method to evoke emotion & access the unconscious’, Journal of Psychosocial Nursing Vol 47, hal. 29-33, diakses 17 September 2013, http://e-resources.pnri.go.id/index.php?option=com_library&Itemid=53&key=1



Bonadies, V 2009, ‘Guided Imagery as A Therapeutic Recreation Modality to Reduce Pain and Anxiety’, Therapeutic Recreation Journal, Vol.43, no 2, hal.  43-55, diakses 30 September 2013, http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/218637767/fulltextPDF/14191421940205A976F/1?accountid=25704



Branon, L, Feist, J & Updegraff, J, A 2013, Health psychology: an introduction to behavior and health, 8th edition, Cengage learning



Djohan 2006, Terapi Musik, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta, Galangpress






Farrel, GO 2010, ‘Guided imagery through Music (GIM) Bonny Method in Psychotherapy’, Irish Association of Humanistic and Integrative Psychotherapy, diakses 14 November 2013 http://iahip.org/inside-out/issue-60-spring-2010/guided-imagery-through-music-gim-bonny-method-in-psychotherapy



Joni, H 2013, ‘Hypnocaring Fundamental Workshop: A Journey to the Sub Conscious World’, tulisan di presentasikan pada perkualiahan Terapi Komplementer Fakultas Keperawawatan Program Studi Pendidikan Ners, 11 September 2013



Kwekkeboom, KL, Cherwin, CH, Lee, JW & Wanta, B 2010, ‘Mind-Body Treatments for the Pain-Fatigue-Sleep Disturbance Symptom Cluster in Persons with Cancer’, Journal of Pain and Symptom management, Vol 39, diakses 17 September 2013, http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0885392409007933



Mardis, LK & Clark, M 2008, 'The Bonny Methode', AMI-Association for Music & Imagery, diakses 21 Maret 2015, http://ami-bonnymethod.org/the-bonny-method-2/



Novita, D 2012, ‘Pengaruh Terapi Musik terhadap Nyeri Post Operasi Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung’, tesis, Universitas Indonesia



Nurindra, Y 2013, Free MP3, ‘Yan Nurindra School of Hypnotism’, diakses 7 Desember 2013,  http://www.hipnotis.net/free-mp3/



Raley, S 2006,’The Experience of Healing in the Bonny Method of Guided imagery and Music’, Proquest, hal. 1, diakses 30 September 2013 http://e-resources.pnri.go.id/index.php?option=com_library&Itemid=53&key=1



Rakel, D 2012, Integrative Medicine, 3rd edition, Elsevier, Philadelphia



Rockefeller, K 2007, Visualize Confidence: How to Use Guided Imgaery to overcome Self-Doubt. New Harbinger Publication, Oakland



Short, AE 2003, ‘Holistic Aspects of Rehabilitation Post-Cardiac Surgery in The Bonny Method of Guided imagery and Music’, UTSePress Publishing, hal. 42-266, diakses 14 November 2013, http://epress.lib.uts.edu.au/research/handle/2100/238



Sole,ML, Klein, DG & Moseley MJ 2013, Introduction to Critical Care Nursing, 6th edition, Elsevier, Missouri


Tilberg, MAL, Chitkara, DK, Palsson, OS, Turner, M, Martin, NB, Ulshern, M & Whitehed, WE 2009, ‘Audio-Recorded Guided imagery Treatment Reduces Functional Abdominal Pain in Children: A Pilot Study’, Pediatrics, Vol. 124, No. 5, hal. 891, diakses 1 Januari 2014 http://pediatrics.aappublications.org/search?fulltext=guided+imagery&submit=yes&x=0&y=0

Konsep Nyeri


         Adakah diantara anda yang tidak pernah mengalami nyeri? Anda sungguh beruntung jika demikian, akan tetapi semua pasti pernah mengalami nyeri. Baik itu nyeri ringan, maupun sampai nyeri hebat. Berdasarkan hasil observasi yang pernah dilakukan penulis di beberaoa rumah sakit nyeri merupakan masalah keperawatan yang paling banyak dikeluhkan.  Nyeri dapat mempengaruhi aktivitas seseorang dan bersifat sangat mengganggu apabila nyeri berat, oleh karena itu nyeri harus segera diatasi. Ada banyak intervensi yang dapat diberikan pada seseorang yang mengalami nyeri baik intervensi farmakologis maupun nonfarmakologis. Agar intervensi yang diberikan efektif dan efisien, sangat penting bagi seorang perawat untuk mengetahui konsep nyeri.

Definsi nyeri

         Nyeri dapat diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan dan sangat individual. Seperti yang dikatakan oleh Kozier et al. (2009) nyeri bersifat individual karena respons nyeri berbeda pada setiap individu. Corwin (2009) mengatakan bahwa nyeri merupakan sensasi yang tidak nyaman yang berkaitan dengan kerusakan jaringan. Seseorang yang terjatuh dari sepeda dan mengalami luka lecet akan mengeluh kesakitan pada lukanya.
        Jadi, secara sederhana nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan bersifat individual yang berkaitan dengan kerusakan jaringan.

Penyebab nyeri

       Ada banyak hal yang dapat menyebabkan timbulnya nyeri. Seseorang yang tersiram air panas akan merasakan nyeri yang terbakar, seseorang yang mengalami luka fisik akibat tusukan benda tajam juga dapat mengalami nyeri. Asmadi (2008) mengelompokkan penyebab nyeri ke dalam dua golongan, yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis. Nyeri yang disebabkan oleh faktor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab fisik, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Secara fisik misalnya akibat trauma baik trauma mekanik, termal, maupun kimia (Kozier, et al. 2010).  


Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

        Dikatakan bahwa nyeri merupakan sensasi subyektif yang tidak menyenangkan. Bersifat subyektif karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang dimaksud diantaranya seperti yang disebutkan oleh Kozier et al. (2010) adalah kebudayaan, usia, lingkungan dan individu pendukung, pengalaman masa lalu, makna nyeri, dan ansietas. Selain faktor di atas Potter & Perry (2005) juga mengatakan jenis kelamin, keletihan dan gaya koping seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap nyeri. Berikut penjelasannya:

1. Pengalaman nyeri sebelumnya
Memang benar beranggapan bahwa orang yang berkali-kali mengalami nyeri atau mengalami nyeri yang berkepanjangan akan lebih mampu mentoleransi nyeri dibandingkan dengan orang yang jarang mengalami pengalaman nyeri. Namun, hal itu tidak berlaku bagi sebagian orang. Semakin sering seseorang mengalami nyeri, semakin takut ia akan peristiwa yang dapat menimbulkan nyeri berikutnya. Seseorang mungkin kurang mampu mentoleransi nyeri; yaitu, dia ingin pengobatan segera, sebelum nyerinya memberat. Reaksi ini lebih mungkin terjadi jika orang tersebut pernah mengalami nyeri yang sangat hebat di masa lalu. Setelah seseorang mengalami nyeri hebat, ia tahu betapa hebatnya rasa nyeri itu. Sebaliknya, orang yang tidak pernah mengalami nyeri hebat mungkin tidak takut dengan nyeri tersebut.
2. Ansietas
Walaupun pada umumnya diyakini bahwa kecemasan meningkatkan persepsi nyeri, itu tidak sepenuhnya benar. Kecemasan mungkin akan meningkatkan persepsi nyeri seseorang. Sebagai contoh, seorang pasien yang 2 tahun sebelumnya dirawat karena mengalami kanker payudara dan sekarang mengalami nyeri pinggul mungkin takut bahwa hal itu mengindikasikan terjadinya metastasis. Pada kasus ini, kecemasan mungkin akan meningkatkan persepsi nyeri. Kecemasan yang tidak berhubungan dengan nyeri akan mengalihkan perhatian seseorang terhadap nyeri dan seseungguhnya mengurangi nyeri yang dirasakan. Sebagai contoh, seorang ibu yang dirawat di rumah sakit dengan komplikasi dari pembedahan abdomen dan mencemaskan anaknya. Nyeri mungkin akan berkurang karena lebih mencemaskan anaknya,
3. Budaya
Respon seseorang terhadap nyeri berbeda antara seseorang dengan budaya yang satu dengan yang lainnya.  Semasa anak-anak, orang belajar dari sekitar mereka apakah respons terhadap nyeri dapat diterima atau tidak. Sebagai contoh, seorang anak mungkin belajar bahwa nyeri akibat cedera karena olahraga tidak separah dengan nyeri akibat kecelakaan berkendara. Seperti halnya juga seorang laki-laki tidak boleh mengeluh nyeri, sedangkan perempuan boleh mengeluh nyeri.
4. Jenis kelamin
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara wanita dengan laki-laki dalam merespon nyeri, akan tetapi lebih mengarah kepada budaya.
5. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan bagaimana mengatasinya.
6. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa keletihan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping sehingga terbentuk siklus nyeri-letih-nyeri.
7. Gaya Koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptif akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
8. Lingkungan dan individu pendukung
Lingkungan yang asing seperti rumah sakit dengan kebisingan dan aktivitasnya, dapat menambah persepsi nyeri. Selain itu, individu yang tidak mempunyai individu pendukung dapat merasakan nyeri hebat, sebaliknya orang yang memiliki individu pendukung di sekitarnya merasakan sedikit nyeri.
     

Fisiologis Nyeri

Seseorang mengalami nyeri karena ada suatu proses fisiologis yang terjadi. Proses fisiologis nyeri digambarkan sebagai nosisepsi. Proses ini dimulai dari rangsangan sampai timbulnya persepsi nyeri. Menurut Urden, Stacy, & Lough (2009); Kozier et al. (2010); Price & Wilson (2005), ada empat proses yang terlibat dalam nosisepsi:

1. Transduksi 
       Transduksi adalah  proses rangsangan yang mengganggu  sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri (Price & Wilson 2005). Selama fase transduksi, stimulus berbahaya memicu pelepasan neurotransmiter seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin, substansi P. Neurotransmiter ini menstimulasi nosiseptor dan memulai transmisi nosiseptif. Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan menghambat prostaglandin (Kozier, et al. 2010).

2. Transmisi
         Transmisi adalah proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal medula spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke otak (Price & Wilson 2005). Transmisi meliputi tiga segmen. Selama segmen yang pertama, impuls nyeri dari serabut saraf tepi dihantarkan ke medula spinalis. Substansi P bertindak sebagai sebuah neurotransmiter yang meningkatkan pergerakan impuls menyeberangi sinaps saraf dari neuron aferen primer ke neuron ordo kedua di kornu dorsalis medula spinalis. Dua tipe serabut nosiseptor menyebabkan transmisi ini ke kornu dorsalis medula spinalis: serabut C yang mentransmisikan nyeri tumpul yang berkepanjangan, dan serabut A-delta yang mentransmisikan nyeri tajam dan lokal. Segmen kedua adalah transmisi dari medula spinalis dan asendens, melalui traktus spinotalamus, ke batang otak dan talamus (Kozier, et al. 2010). Spinotalamus terbagi menjadi dua jalur khusus: jalur neospinothalamic (NS) dan jalur paleospinothalamic (PS). Umumnya, serabut A-delta mengirimkan impuls nyeri ke otak melalui jalur NS dan serabut C menggunakan jalur PS (Urden, et al. 2009). Segmen ketiga melibatkan transmisi sinyal antara talamus ke korteks sensorik somatik tempat terjadinya persepsi nyeri (Kozier, et al. 2010).

3. Persepsi
          Persepsi adalah pengalaman subjektif yang dihasilkan oleh aktivitas transimisi nyeri (Price & Wilson 2005). Impuls nyeri ditrasnmisikan melalui spinotalamus menuju ke pusat otak dimana persepsi ini terjadi. Sensasi nyeri yang ditransmisikan melalui neospinothalamic (NS) menuju talamus, dan sensasi nyeri yang ditransmisikan melalui paleospinothalamic (PS) menuju batang otak, hipotalamus, dan talamus. Bagian dari central nervous system (CNS) ini berkontribusi terhadap persepsi awal nyeri. Proyeksi ke sistem limbik dan korteks frontal memungkinkan ekspresi dari komponen afektif nyeri. Proyeksi ke korteks sensorik yang terletak di lobus parietal memungkinkan pasien untuk menggambarkan pengalaman sensorik dan karakteristik nyerinya, seperti lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. Komponen kognitif nyeri melibatkan beberapa bagian korteks serebral. Ketiga komponen ini menggambarkan interpretasi subjektif dari nyeri. Sama dengan proses subjektif tersebut, ekspresi wajah dan gerakan tubuh tertentu merupakan indikator perilaku nyeri yang terjadi sebagai akibat dari proyeksi serabut nyeri ke korteks motorik di lobus frontal (Urden, et al. 2009).
4. Modulasi
         Modulasi seringkali digambarkan sebagai sistem desendens, proses keempat ini terjadi saat neuron di batang otak mengirimkan sinyal menuruni kornu dorsalis medula spinalis. Serabut desendens ini melepaskan zat seperti opiod endogen, serotonin, dan norepinefrin, yang dapat menghambat naiknya impuls berbahaya di kornu dorsalis. Namun, neurotransmiter ini diambil kembali oleh tubuh, yang membatasi kegunaan analgesiknya. Klien yang mengalami nyeri kronik dapat diberi resep antidepresan trisiklik, yang menghambat ambilan kembali norepineprin dan serotonin. Tindakan ini meningkatkan fase modulasi yang membantu menghambat naiknya stimulus yang berbahaya (Kozier, et al.2010).  

proses nosisepsi
         Respons refleks yang bersifat protektif juga bisa terjadi dengan adanya persepsi nyeri (Gambar 2.2). Serabut A-delta mengirim impuls-impuls sensorik ke medula spinalis, selanjutnya impuls tersebut akan bersinapsis dengan neuron motorik spinal. Impuls-impuls motorik tersebut dihantarkan ke sepanjang serabut-serabut eferen kembali ke otot perifer yang dekat area stimulasi, selanjutnya terjadi kontraksi otot yang merupakan reaksi perlindungan terhadap nyeri (Potter & Perry 2009).
refleks terhadap stimulus nyeri
Gambar 2 Refleks terhadap stimulus nyeri (Kozier, et al. 2010)
Respons terhadap nyeri
        Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri. Pada respon fisiologis, sistem saraf otonom terstimulus bersamaan dengan naiknya impuls-impuls nyeri ke medula spinalis hingga batang otak dan talamus. Pada awalnya, sistem saraf simpatis berespons, menyebabkan respons melawan atau menghindar. Stimulasi dari cabang saraf simpatis pada sistem saraf otonom mengakibatkan respons fisiologis seperti peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung, vasokontriksi, peningkatan tekanan darah, ketegangan otot. Apabila nyeri berlanjut, maka sistem saraf parasimpatis mulai bereaksi. Adaptasi terhadap nyeri ini terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari mengalami nyeri (Potter & Perry 2005, 2009). Seseorang dapat belajar menghadapi nyeri melalui aktivitas kognitif dan perilaku, seperti distraksi, guided imagery dan banyak tidur. Individu dapat berespons terhadap nyeri dan mencari intervensi fisik untuk mengatasi nyeri, seperti analgesik, masase, dan olahraga (Kozier, et al. 2010). Gerakan tubuh dan ekspresi wajah dapat mengindikasikan adanya nyeri, seperti gigi mengatup, menutup mata dengan rapat, wajah meringis, merengek, menjerit dan imobilisasi tubuh (Kozier, et al. 2009).

Klasifikasi nyeri
         Smeltzer et al. (2010) mengklasifikasikan nyeri secara umum menjadi tiga, yaitu nyeri akut, nyeri kronis, dan nyeri yang terkait dengan kanker.
1. Nyeri akut
Nyeri akut merupakan nyeri yang berlangsung tidak lebih dari enam bulan, awitan gejalanya mendadak, dan biasanya penyebab serta lokasi nyeri sudah diketahui.
2. Nyeri kronis
Nyeri kronis merupakan nyeri yang berlangsung lebih dari enam bulan, sumber nyerinya bisa diketahui bisa tidak.
3. Nyeri yang berhubungan dengan kanker
Nyeri yang berhubungan dengan kanker dapat bersifat akut atau kronis. Nyeri pada pasien dengan kanker dapat langsung berhubungan dengan kanker (misalnya, infiltrasi tulang dengan sel tumor atau kompresi saraf), hasil dari pengobatan kanker (misalnya, pembedahan atau radiasi). Namun, sebagian besar nyeri yang terkait dengan kanker adalah akibat langsung dari keterlibatan tumor.

        Nyeri juga dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan berdasarkan tempat dan berat ringannya nyeri (Asmadi 2008).
1. Nyeri berdasarkan tempatnya 
  1. Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya pada kulit, mukosa. 
  2. Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh viseral. 
  3. Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri. 
  4. Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, dan talarnus.
2. Nyeri berdasarkan sifatnya
  1. Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.
  2. Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama. 
  3. Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap kurang lebih 10 sampai dengan 15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.
3. Nyeri berdasarkan berat ringannya
  1. Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah 
  2. Nyeri sedang, yaitu nyeri dengan intensitas sedang. 
  3. Nyeri berat, yaltu nyeri dengan intensitas yang tinggi.

Intensitas nyeri
      Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan individu. Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan karenanya harus diminta untuk menggambarkan dan membuat tingkatannya (Smeltzer, et al. 2010). Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan reliabel dalam menentukan intensitas nyeri. Sebagian skala menggunakan kisaran 0-10 dengan 0 menandakan “tanpa nyeri” dan angka tertinggi menandakan “kemungkinan nyeri terburuk” untuk individu tersebut (Kozier, et al. 2010).
1. Face Pain Scale (FPS)
face pain scale
Gambar 3 Face Pain Scale (FPS) (Smeltzer, et al. 2010)
2. Verbal Rating Scale (VRS) 

verbal rating scale
Gambar 4 Verbal Rating Scale (VRS) (Smeltzer, et al. 2010)
3. Numeric Rating Scale (NRS)
NRS digunakan untuk menilai intensitas dan memberi kebebasan penuh klien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri (Potter & Perry 2005). Krebs, Carey, & Weinberger (2007) mengkategorikan skor NRS 1-3 (nyeri ringan), 4-6 (nyeri sedang), dan 7-10 (nyeri berat).

numeric rating scale
Gambar 5 Numeric Rating Scale (NRS) (Krebs, et al. 2007)
4. Visual Analog Scale (VAS) 
VAS merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri dan memiliki alat keterangan verbal pada setiap ujungnya (Potter & Perry 2005). VAS berbentuk garis horizontal sepanjang 10 cm, dan ujungnya mengindikasikan nyeri yang berat. Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi di sepanjang rentang tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan menandakan “berat” atau “nyeri yang paling buruk”. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis dalam sentimeter (Smeltzer, et al. 2010).

visual analog scale
Gambar 6 Visual Analog Scale (VAS) (Smeltzer, et al. 2010)

Peran perawat dalam manajemen nyeri

        Peran perawat dalam manajemen nyeri adalah untuk melakukan pengkajian nyeri, mengidentifikasi tujuan manajemen nyeri,  mengajarkan pasien, melakukan perawatan fisik, membantu mengatasi nyeri pasien dengan pemberian intervensi untuk mengurangi nyeri (termasuk pendekatanfarmakologis dan norfarmakologis), kaji kefektifan intervensi yang diberikan dan memonitor efek samping yang tidak diinginkan, dan berperan sebagai seorang pembela bagi pasien ketika intervensi yang direncanakan tidak efektif mengurangi nyeri. Gambar 7 merupakan pathway yang bisa digunakan pada dari pengkajian sampai keputusan klinis langsung untuk manajemen nyeri.
1. Mengidentifikasi tujuan manajemen nyeri
     Informasi yang perawat dapatkan dari pengkajian nyeri digunakan untuk mengidentifikasi tujuan dari memanajemen nyeri. Tujuan ini diberikan dan divalidasi bersama pasien. Bagi beberapa pasien, tujuannya mungkin menghilangkan nyeri. Namun, anggapan ini mungkin tidak realistis. Tujuan lain mungkin termasuk mengurangi itensitas nyeri, durasi, frekuensi nyeri dan mengurangi dampak negatif dari nyeri.
      Untuk menentukan tujuan, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Faktor yang pertama adalah tingkat keparahan nyeri yang ditentukan oleh pasien. Faktor yang kedua adalah mengantisifasi efek yang merugikan bagi pasien. Pasien dengan masalah kesehatan yang serius memiliki resiko yang lebih besar mengalami efek buruk dari nyeri dibandingkan dengan pasien yang muda dan sehat. Pada pasien dengan nyeri dari sebuah penyakit seperti kanker, nyeri mungkin berkepanjangan, mungkin selama hidup pasien. Dibutuhkan intervensi yang berbeda jika nyeri sekiranya hanya selama beberapa hari atau minggu.
       Nyeri pasien mungkin dapat berkurang dengan pemberian intervensi farmakologis atau nonfarmakologis, tetapi kebanyakan dengan gabungan dari keduanya. Penyakit pada tahap akut, pasien mungkin tidak mampu berpartisipasi dalam tindakan manajemen nyeri, tetapi ketika mental dan kemampuan fisik pasien adam pasien mungkin belajar teknik manajemen diri untuk mengurangi nyeri. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan tahap pemulihan pasien, peningkatan manajemen diri merupakan tujuan manajemen nyeri
2. Memberikan perawatan fisik
        Pasien dengan nyeri umumnya akan mengalami gangguan pada perawatan dirinya. Oleh karena itu, penting bagi perawat untuk membantu memenuhi kebutuhan pasien. Seperti baju yang bersih, mengganti linen tempat tidur sejalan dengan upaya membuat pasien segar (misalnya memandikan). Hal ini sering meningkatkan kenyamanan dan meningkatkan keefektifan pereda nyeri 
3. Hubungan perawat-pasien dan penyuluhan

       Kepercayaan adalah suatu elemen yang penting dalam hubungan ini. Menunjukkan kepada pasien tentang keyakinan perawat bahwa pasien menderita nyeri sering mengurangi ansietas. Misalnya seorang perawat mengatakan “saya mengerti anda mengalami nyeri,” sering membuat pasien tenang. Kadang kala, pasien yang takut bahwa tidak seorangpun percaya laporannya mengenai nyeri akan tenang ketika ia mengetahui bahwa perawat dapat dipercaya dan percaya bahwa ia benar-benar mengalami nyeri.
       Selain itu perawat juga memberikan informasi melalui penyuluhan tentang bagaimana nyeri dapat dikontrol. Misalnya, sangat penting bagi pasien untuk melaporkan nyeri sedini mungkin agar nyeri tidak bertambah berat dan dapat diatasi segera.
4. Menangani ansietas yang berhubungan dengan nyeri
       Mengajarkan pasien  tentang sifat nyeri dan cara-cara yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri sering menurunkan ansietas. Hubungan pasien-perawat seperti yang dijelaskan sebelumnya juga efektif untuk menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri.
alur manajemen nyeri
Gambar 7 Alur Manajemen Nyeri

Penatalaksanaan Nyeri

         Penatalaksaan nyeri yang efektif tidak hanya memberikan obat yang tepat pada waktu yang tepat, seperti yang dikatakan Dewit (2008) penatalaksanaan nyeri yang efektif juga dengan mengombinasian antara penatalaksaan farmakologis dan nonfarmakologis. Kedua tindakan ini akan memberikan tingkat kenyamanan yang sangat memuaskan dalam waktu yang lama bagi pasien.
1. Tindakan Farmakologis
       Tindakan farmakologis menurut Smeltzer et al. (2010) dibagi menjadi tiga kategori umum, yaitu anestesi lokal, agen analgesik opioid, dan Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs).
a. Anestesi lokal
Anestesi lokal bekerja dengan memblok konduksi saraf saat diberikan langsung ke serabut saraf. Anestesi lokal dapat memberikan langsung ke tempat yang cedera (misalnya, anestesi topikal dalam bentuk semprot untuk luka bakar akibat sinar matahari) atau cedera langsung ke serabut saraf melalui suntikan atau saat pembedahan.
b. Opioid
Tujuan dari pemberian opioid adalah untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan kualitas hidup, karena itu, rute, dosis dan frekuensi pemberian ditentukan secara individual. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan rute, dosis, dan frekuensi pengobatan mencakup karakteristik nyeri (misalnya, durasi dan tingkat keparahan), status keseluruhan pasien, respon pasien terhadap pengobatan analgesik, dan laporan pasien nyeri. Opioid dapat diberikan melalui berbagai rute: oral, intravena, subkutan, intraspinal, intranasal, rektal, dan transdermal.
 c. Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs)
Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs) diduga dapat menurunkan nyeri dengan menghambat produksi prostaglandin dari jaringan-jaringan yang mengalami trauma atau inflamasi, yang menghambat reseptor nyeri untuk menjadi sensitif terhadap stimulus menyakitkan sebelumnya.
2. Tindakan nonfarmakologis
Tindakan nonfarmakologis dapat digunakan sebagai pelengkap dalam pemberian analgesik, tetapi tindakan nonfarmakologis tidak ditujukan sebagai pengganti analgesik (Urden, et al. 2009). Tindakan nonfarmakologis menurut Smeltzer et al. (2010) meliputi masase, terapi es dan panas, stimulasi saraf elektris transkutan, teknik relaksasi, distraksi, hipnosis, guided imagery dan musik.
a. Masase
Masase adalah tindakan kenyamanan yang dapat membantu relaksasi, menurunkan ketegangan otot, dan dapat menurunkan ansietas karena kontak fisik yang menyampaikan perhatian. Masase juga dapat menurunkan intensitas nyeri dengan meningkatkan sirkulasi superfisial ke area nyeri. Masase dapat dilakukan di leher, punggung, tangan dan lengan, atau kaki.
b. Terapi es dan panas
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Terapi panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan.
c. Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)
TENS dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non nosiseptor) dalam area yang sama seperti pada serabut yang menstransmisikan nyeri. TENS menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri. Stimulasi dari TENS diperkirakan mengaktivasi serabut saraf berdiameter besar yang mengatur transmisi impuls nosiseptif di sistem saraf tepi dan system saraf pusat, menghasilkan penurunan nyeri.
d. Teknik relaksasi
Teknik relaksasi dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Teknik relaksasi terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman.
e. Distraksi
Distraksi merupakan tindakan dengan memfokuskan perhatian pada sesuatu selain pada nyeri, misalnya menonton film dan bermain catur. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desendens yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri.
f. Hipnosis
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini membantu dalam memberikan peredaan nyeri terutama dalam situasi sulit, misalnya luka bakar. Keefektifan hipnosis tergantung pada kemampuan hipnotik individu.
g. Imajinasi terbimbing (guided imagery)
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan napas berirama lambat dengan suatu bayangan mental dan kenyamanan.
h.Terapi musik
Terapi musik merupakan terapi yang murah dan efektif untuk mengurangi nyeri dan kecemasan. Penelitian di kalangan wanita lansia di Korea dan Amerika yang menjalani operasi ginekologi menunjukkan penurunan nyeri setelah diberikan intervensi terapi musik.



Daftar Pustaka

Asmadi 2008, Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien, Salemba Medika, Jakarta


Corwin, EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3, EGC, Jakarta



Dewit, SC 2008, Medical Surgical Nursing: Concept and Practice,  Elsevier Science Health Science Division, St. Louis

Kozier, B, Erb, G, Berman, A & Snyder, SJ 2009, Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis, Edisi 5. EGC, Jakarta

_______ 2010, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses & Praktik, Edisi 7, Vol. 1, EGC, Jakarta


Krebs, EE, Carey, TS & Weinberger, M 2007, ‘Accuracy of the Pain Numeric Rating Scale as a Screening Test in Primary Care’, Journal of General Internal Medicine, Vol.22, no.10, hal. 1453–1458, diakses 27 Oktober 2013, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2305860/

Potter, PA & Perry, AG 2009, Fundamental Keperawatan, Buku 3 Edisi 7, Salemba Medika, Jakarta

_______ 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Praktik. EGC, Jakarta

Price, SA, & Wilson, LM 2005, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki, Edisi 6, Vol. 2, EGC, Jakarta

Urden, LD, Stacy, KM & Lough, ME 2009, Critical Care Nursing: Diagnosis and Management, 6th edition, Mosby, Maryland Heights, Missouri